Beberapa waktu yang lalu ada ulasan mengenai praktik perjokian pada seleksi mahasiswa baru perguruan tinggi yang terjadi di Jogja. Berikut ini ulasan atau opini mengenai dampak perjokian ujian masuk perguruan tinggi tersebut;
Perjokian Dapat Lunturkan Citra Yogya
Tragedi tahunan selalu menjadi ancaman bagi setiap perguruan tinggi (PT) terkemuka di Indonesia dalam proses seleksi mahasiswa baru, seperti di UGM, UI, ITB dan IPB. Tragedi tak sedap telah melanda kota Yogyakarta dengan terungkapnya prak-tik perjokian di Fakultas Kedokteran (FK) UGM. Terungkapnya perjokian massal
yang melibatkan 42 peserta ini menjadi salah satu bukti nyata bahwa PT
di Indonesia telah termasuki ideologi instan yang serba ingin cepat,
mudah, dan tidak mau bekerja keras. Kasus ini telah
melunturkan citra Yogya sebagai kota pendidikan. Masyarakat Indonesia
mempercayai bahwa Yogya sebagai kawah Candradimuka dimana kaum
intelektual dan pemikir bangsa dididik dan bertumbuh di kota ini.
Sejarahnya, UGM memiliki jati diri yang berdasarkan nilai-nilai
Pancasila, sebagai kampus perjuangan, kampus kerakyatan dan kebudayaan.
Namun, seiring perkembangan zaman, jati diri UGM menjadi luntur karena adanya praktik perjokian di FK Kebijakan pendidikan
nasional yang menempatkan setiap PT di Indonesia harus saling
berkompetisi satu dengan yang lain serta minimnya alokasi anggaran
membawa dampak PT harus mencari sumber dana lain. Fakultas harus mencari
sumber dana lain untuk mencukupi kebutuhan operasional yang membengkak.
Oleh karena itu, hiruk-pikuknya mencari kebutuhan operasional menjadi
akar permasalahan lahirnya praktik perjokian di berbagai PT di Indonesia.
Kasus perjokian di UGM yang melibatkan jaringan intelektual bisa juga terjadi di PT
lain. Maraknya pembukaan p rodi baru dan kelas in-temasional tanpa
evaluasi menjadi jalan pintas calon mahasiswa untuk berusaha masuk PT
ternama di Indonesia. Persoalan gengsi dan status sosial menjadi alasan
banyak orang berusaha untuk bisa diterima di PT ternama di Indonesia.
Esensi pendidikan semakin direduksi dan dikebiri oleh karena watak
manusia Indonesia sekarang ini yang lebih instan dan cari jalan cepat.
Dengan adanya kasus ini tentu saja menjadi tamparan bagi dunia pendidikan.
Sejak diberlakukannya otonomi PT telah menyebabkan kontrol atas
aktivitas PT dari tingkat pimpinan, hingga jurusan semakin lemah.
Fakultas dapat membuat suatu perubahan dan membuka berbagai prodi atau
kelas internasional tanpa hambatan dan rintangan. Komersiali-sasi dan
liberalisasi, serta praktik jual beli kursi menjadi ajang lomba di
tingkat fakultas, ‘siapa bayar banyak, dia menang'. Dampak selanjutnya,
praktik perjokian menjadi tren dan bisnis
baru. Lemahnya kepemimpinan PT juga mcrya-di penyebab kenapa perjokian
tidak pernah menjadi masalah utama dan dibiarkan berkembang. Kondisi ini
telah memperkeruh suasana dan menjadi lahan subur bagi orang-orang yang
ingin masuk ke PT dengan jalan pintas.
Jati diri UGM yang dirumuskan dalam Statuta UGM telah luntur karena praktik perjokian dibiarkan berkembang tanpa tindakan nyata.
Semangat UGM yang dibangun melalui pemantapan jati diri UGM sebagai
kampus perjuangan, kerakyatan, kebangsaan dan kebudayaan tentu
dipertanyakan selama praktik perjokian marak menghiasi seleksi
penerimaan mahasiswa baru, terutama pada kelas internasional yang lemah
pengawasan. Kredibilitas dan martabat Yogya sebagai kota pendidikan pun
akan dipertanyakan.
Setidaknya ada upaya strategis menanggulangi persoalan tersebut.
Pertama, perlunya pengetatan seleksi administrasi calon mahasiswa baru
yang mendaftar di kelas-kelas internasional, seperti pemberlakukan foto
di tempat dan cross check identitas calon mahasiswa perlu menjadi
perhatian serius karena selama ini banyak pas foto kedaluwarsa dibiarkan
lolos seleksi meskipun pada aturan tertulis foto terakhir paling lama 6
bulan. Aturan ini tampaknya tidak pernah diperhatikan dan dibiarkan
sambil lalu. Kedua, penggunaan alat komunikasi apa pun seperti telepon
seluler, jam tangan, dan ak-sesoris elektronik lainnya harus dilarang
dibawa masuk ruang
ujian. Ketiga, kontrol pengawas perlu ditingkatkan dan pengawas
memiliki fungsi yang penting dalam hal ini untuk meng-awasi proses
seleksi dan ujian. Keempat, ada upaya dari pihak pimpinan untuk menindak
te-gas pengawas/peserta ujian yang memberikan keleluasaan jaringan
perjokian. Tentu saja, bila melibatkan orang dalam perlu ada sanksi
tegas. Dengan demikian, citra Yogya dan PT sebagai kawah Candradimuka
untuk menggali ilmu dapat kembali dipercaya masyarakat. ? Opini mengenai
praktik perjokian ini pernah dimuat di Kedaulatan Rakyat dan oleh Hastangka, Staf Peneliti Pusat Studi Pancasila UGM.