Mengatasi Kemiskinan DIY

Kemiskinan di DIY sudah mendekati angka rawan. Bayangkan saja, peringkat kemiskinan Bumi Mataram menduduki nomor 23 dari 33 provinsi di Indonesia. Sungguh ironis, kemiskinan terjadi di ko-ta yang indeks kesejahteraan masyarakatnya peringkat pertama dan indeks pembangunan masyarakat (IPM) berada di urutan ke empat. Itu artinya, modal SDM yang dimiliki Kota Gudeg tersebut cukup memadai untuk mencapai masyarakat yang sejahtera dan mandiri.

Data BPS 2011, kemiskinan DIY mencapai angka 16,5 persen, sedang standar kemiskinan skala nasional hanya 11 persen. Dengan demikian, persentase kemiskinan DIY lebih tinggi dibanding skala nasional. Padahal selama ini Yogya dikenal daerah yang banyak kelebihan dibanding kota-kota lain. Lantas mengapa kemiskinan sajigat tinggi ?

Realitas Kemiskinan

Beberapa hari lalu ada kisruh daftar orang miskin di salah satu kabupaten di DIY, yaitu Gunungkidul. Diberitakan Kedaulatan Rakyat (18/7), ada pencoretan data orang miskin, kemudian ada tanggapan Tim Nasional Penanggulangan dan Pemberantasan Kemiskinan (TNP2K) yang kemudian ada penjelasan bagaimana kategori orang miskin. Penulis sangat menyayangkan hal tersebut, karena yang diperdebatkan justru soal data orang miskin. Seharusnya mengurai faktor kemiskinan dan mencari strategi agar kemiskinan dapat diatasi. Bukankah tugas Dinas Kesejahteraan Rakyat (Kesra) tak hanya menghitung jumlah orang miskin ?

Keterbatasan SDA, minimnya lapangan ker-ja, bagian dari faktor kemiskinan DIY. Yogya memiliki lahan kering yang cukup memadai, sebanyak 215.361 hektare. Jika lahan itu dimanfaatkan secara maksimal, Lentu saja masyarakat banyak mendapat sumber penghasilan dari lahan tersebut. Tapi, fakta di lapangan justru terjadi pengalihan fungsi lahan subur menjadi gedung perkantoran, toko-toko dan pembangunan lainnya.

Kondisi ini diperparah dengan semakin meningkatnya laju pertumbuhan penduduk. Wa-jar, meskipun modal SDM cukup tinggi, tapi tidak mampu menuju kehidupan nyaman dan sejahtera (freshness, and prosperity). Hal itu terjadi karena jumlah penduduk DIY tak sebanding dengan lapangan kerja yang tersedia.

Langkah Strategis
Hemat penulis, ada beberapa langkah strategis mengurangi kemiskinan DIY. Pertama, karena DIY minim SDA, maka yang harus di-
maksimalkan pemerintah memperluas lapangan kerja di sektor formal. SDM masyarakat DIY sudah di atas rata-rata, maka untuk menyalurkan kemampuan tersebut yang perlu disiapkan adalah lapangan kerja. Kedua, memperlambat laju pertumbuhan penduduk melalui program keluarga berencana (KB). Berikan kesadaran (awareness) pada masyarakat betapa pentingnya program KB untuk menghadapi ledakan penduduk DIY yang semakin tinggi,
bahkan diprediksikan pada 2025 akan mencapai 6-7 juta orang atau dua kali lipat dari jumlah sekarang (3,4 juta jiwa).

Ketiga, Pemerintah membatasi (restrictive) tanah subur yang dialihfungsikan menjadi kan-tor lembaga, ruko-ruko, pasar dan pembangunan lainnya. Jika hal ini dibiarkan, maka 10-20 tahun ke depan sawah-sawah di DIY akan ha-bis, padahal sebagian besar pendapatan penduduk DIY dari hasil pertanian. Keempat, membentuk kesadaran masyarakat berwirausaha (entrepreneur), artinya masyarakat bisa mandiri dengan sumber pendapatan dari usa-ha-usaha kecil (agro bisnis). Apalagi, menurut data Kadin DIY hampir 86,7 persen usaha mandiri yang mempunyai omzet di bawah 10 juta. Implementasi kebijakan ini adalah memberikan pelatihan dan bantuan modal usaha, terutama bagi masyarakat yang tidak mempunyai lahan pertanian dan pekerjaan formal.

Jika pemerintah menginginkan kesejahteraan masyarakat segera terealisasi, maka segera mungkin pihak-pihak terkait membuat kebijakan sebagaimana penulis tawarkan di atas. Tentunya semua orang (masyarakat DIY) tidak menginginkan fakta ironis ini berlanjut dan berjalan begitu saja tanpa diiringi ikhtiar bersama untuk bangkit dari kemiskinan.

Selanjutnya, jika kemiskinan DIY tidak menemukan solusi atau ada unsur kesengajaan membiarkan begitu saja, tentunya kita siap menerima konsekuensi, yaitu tingginya mobilitas sosial dan laju urbanisasi, sehingga konflik horizontal dan kekerasan masyarakat tidak bisa terelakkan. Penulis percaya, semua pihak tidak ingin predikat Yogya sebagai zona aman (safety zone) bergeser menjadi kota rawan kekerasan (hardeness zone). Oleh karena itu, saran, gagasan, ide dan bahkan kritik dari semua ele-men sangat dibutuhkan demi kepentingan rakyat DIY agar menemukan solusi bangkit dari kemiskinan.

Artikel Mengatasi Kemiskinan DIY ini dimuat di KR dan penulisnya adalah *) H Subardi SH MH, Ketua DPW Partai NasDem Provinsi DIY dan Mantan Anggota DPD RI Periode 2004-2009.