Sinergi Zakat dan Pajak

Zakat adalah sebuah langkah kemandirian sosial yang diambil dengan dukungan penuh agama untuk membantu orang-orang miskin yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka sendiri. Selain itu, zakat juga dapat memberikan pengaruh yang positif bagi negara, misalnya sebagai sumber dana investasi bagi kelompok miskin. Potensi zakat ini sesungguhnya dapat disinergikan dengan pajak, sehingga diharapkan dapat mengatasi bera-gam persoalan kemiskinan, keterbe-lakangan dan kebodohan, yang saat ini tengah dihadapi oleh bangsa Indonesia.

Relasi zakat dan pajak pertama kali diperkenalkan dalam Undang-undang No 38/1999 tentang Pengelo-laan Zakat, yang sekarang telah di-ganti oleh UU No 23/2011. Zakat di-jadikan sebagai insentif fiskal mela-lui kebijakan zakat sebagai pengu-rang pendapatan kena pajak (tax deduction). Semangat ketentuan ini adalah agar wajib pajak tidak ter-kena beban ganda, yaitu kewajiban membayar zakat dan pajak. Kesa-daran membayar zakat diharapkan juga dapat meningkatkan kesadaran membayar pajak.

Jika terwujud sinergi zakat dan pajak maka penerimaan negara seca-ra keseluruhan akan meningkat, sehingga menimbulkan efek rambatan (multiplier effect) yang besar. Ma-salahnya, masuknya insentif pajak dalam UU No 38/1999 tersebut tidak melibatkan otoritas pajak.

Ketika Departemen Keuangan setahun kcmudian mengajukan draf revisi RUU PPh (tahun 2000), sama sekali tidak ada ketentuan yang men-dukung zakat sebagai tax deduction. Ketentuan zakat sebagai tax deduction baru diakomodasi dalam RUU PPh setelah pembahasan di DPR.

Kaidah Ushul fiqh “Tasharrufu al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuutun bilmashlahah”, bahwa kebijakan yang diambil pemerintah harus ber-
tujuan untuk kebaikan dan keman-faatan bagi umat. Demikian halnya dengan zakat dan pajak dalam ranah keuangan negara.

Untuk mewujudkan kebijakan zakat dan pajak tentu harus sinergi antara otoritas zakat dan otoritas pajak sehingga regulasi yang dibuat dapat harmonis, saling melengkapi dan saling menguatkan, dan kemu-dian dapat terealisasi dengan baik. UU No 17/2000 mengukuhkan UU No 38/1999, yaitu zakat yang diteri-ma Badan Amil Zakat (BAZ)/Lem-baga Amil Zakat (LAZ) dan mustahik tidak termasuk sebagai objek pajak, serta zakat penghasilan yang diba-yarkan wajib pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau wajib pajak badan dalam negeri yang dimi-liki pemeluk agama Islam kepada BAZ/LAZ menjadi faktor pengurang dalam menentukan besamya penghasilan kena pajak.

Namun zakat sebagai tax deduction ini baru dapat diimplementasi-kan tiga tahun kemudian setelah keluarnya Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-163/PJ/2003.

Dalam praktiknya, meminta zakat sebagai tax deduction ini juga tidak mudah jika muzakki tidak mendapatkan Bukti Setor Zakat (BSZ) dari BAZNAS sebagaimana diminta aparat Pajak.

Wacana zakat sebagai tax credit

Zakat sebagai tax credit diperki-rakan akan menjadi insentif yang memadai bagi muzakki untuk menu-naikan kewajibannya. Fasilitas ini akan dapat berdampak positif terha-dap kepatuhan membayar pajak.

Persoalannya, ketika itu proposal ini kurang dipersiapkan dengan baik. Dalam semua draf RUU Zakat yang ada, tidak ada satu pun pasal yang berbicara tentang otoritas pajak dalam kaitan zakat sebagai pengurang pajak. Padahal wacana zakat sebagai kredit pajak mensyaratkan adanya koordinasi yang kuat antara otoritas pajak dan otoritas zakat, dari tingkat tertinggi hingga terbawah.
Zakat sebagai tax credit juga diperkirakan akan berdampak signi-fikan pada penerimaan perpajakan. Diterimanya wacana zakat sebagai kredit pajak, dan pada saat yang sama juga dilakukan equal treatment terhadap sumbangan keagamaan lainnya, akan menurunkan penerimaan perpajakan dalam negeri, yaitu penerimaan PPh nonmigas, sebesar penerimaan zakat nasional dan penerimaan sumbangan keagamaan wajib nasional lainnya.

Selanjutnya, lex specialis yaitu UU PPh (Pajak Penghasilan) yang mengatur secara material pengenaan PPh, saat ini masih mengatur zakat sebagai pengurang penghasilan neto, artinya zakat belum equal dengan pajak.

Zakat masih seperti “biaya” dalam menghitung PPh terutang, sama perlakuannya dengan biaya-biaya operasional kegiatan usaha. Jika zakat akan disamakan dengan pajak, maka ia harus diperlakukan sebagai kredit pajak. Cara yang dapat ditempuh adalah dengan mengubah UU PPh sebagai UU materil.

Penulis mengamati upaya yang ada, yaitu untuk mengintegrasikan pajak dan zakat, telah dilakukan pemerintah melalui penerbitan Peratur-an Pemerintah (PP) Nomor 60/2010 yang berlaku mulai 23 Agustus 2010, dan berlaku surut dari 1 Januari 2009. Pada aturan tersebut, zakat atau sumbangan keagamaan yang bi-sa menjadi pengurang pajak, adalah zakat atas penghasilan yang dibayar-kan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) pemeluk agama Islam.

Zakat tersebut harus dibayarkan kepada badan amil zakat atau lem-baga amil zakat yang dibentuk dan disahkan oleh pemerintah. Atau, sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi Wajib Pajak Orang Pribadi pemeluk agama selain agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama selain agama Islam, yang diakui di Indonesia dan dibayarkan kepada lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.

Aturan ini menyebutkan, zakat yang dibayarkan ke badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang tidak dibentuk dan disahkan oleh pemerintah, tidak bisa menjadi faktor pen-gurang penghasilan bruto. Walaupun sudah dikeluarkan PP mengenai zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak ini, masyarakat wajib pa-jak masih banyak yang belum me-manfaatkan keringanan ini.

Kebiasaan masyarakat menyalur-kan sendiri zakatnya dan masih belum adanya aturan yang menyebutkan lembaga mana saja yang meru-pakan badan/lembaga resmi peneri-ma zakat, menjadi faktor pengham-bat, untuk itu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menindaklanjuti PP ter-sebut dengan mengeluarkan Pera-turan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-33/PJ/2011 yang berlaku sejak tanggal 11 November 2011, dimana ditetapkan 20 badan/lembaga pene-rima zakat yang sifatnya wajib dan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

Badan/Lembaga yang ditetapkan sebagai penerima zakat atau sum-bangan meliputi satu Badan Amil Zakat Nasional, 15 Lembaga Amil Zakat (LAZ), tiga Lembaga Amil Zakat, Infaq, dan Shaaqah (LAZIS) dan satu lembaga sumbangan agama Kristen Indonesia.

Dengan dikeluarkannya peratu-ran tersebut diharapkan masyarakat bisa memanfaatkannya, sebagai sa-lah satu keringanan pajak dan lebih bisa memberi pemahaman kepada wajib pajak bahwa pajak dan zakat adalah sama-sama kewajiban yang harus ditunaikan.

Ke depan, wacana yang perlu dikemukakan adalah menata ulang hubungan koordinasi otoritas pajak dan zakat nasional dengan tujuan untuk memperbaiki secara mendasar pelaksanaan zakat sebagai tax deduction, sebelum kemudian ber-ijtihad menjadikannya sebagai tax credit. Wallahu a’lam.»
Sugeng Priyono
Mahasiswa S2 Ekonomi Islam UIKA Bogor dan Asisten Penetiti CIBEST IPB