- Orang kafir
- Orang munafik.
Firman Allah swt.:
“Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan (jenazah) atas seseorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan
Rasul-Nya, dan mereka mati dalam keadaan fasik. ” 16) Q.S At-Taubah: 84
Latar belakang historis turun (asbab nuzul)nya ayat di atas adalah sebagaimana diterangkan dalam hadits Umar r.a.: “Ketika Abdullah bin Ubai bin Salul wafat, Rasulullah saw. diminta untuk menyalatinya, begitu Rasulullah saw. hendak memulai, aku merangkulnya dan berkata: “Wahai Rasulullah, hendak Anda shalatikah musuh Allah itu? Padahal dia banyak mengejek begini dn begitu, bukankah Anda sudah dilarang oleh Allah? Anda mintakan ampun atau tidak sama saja. Sekalipun Anda mohonkan ampun tujuh puluh kali ampunan, Allah tetap tidak akan mengabulkannya.” Melihat sikap Umar yang seperti itu, Rasulullah saw. tersenyum seraya bersabda: “Lepaskanlah aku wahai Umar, hal itu pasti akan diwahyukan kepadaku, akan tetapi aku ingin menambah berat timbangan kebaikannya, agar dosanya diampuni.” Akhirnya Nabi saw. tetap menyalatinya, setelah itu, turunlah ayat larangan: “Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan (jenazah) atas seseorang yang mati di antara mereka dan janganlah kamu berdiri di kubumya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mereka mati dalam keadaan fasik.”
Sejak itu, Rasulullah saw. tidak pernah menyalati mayat orang munafik, hingga beliau wafat.” H.R. Bukhari dan lainnya.
Hadits Al-Musayyab bin Hazm r.a.:
“Tatkala Abu Thalib menghadapi kematian, dia didatangi oleh Rasulullah saw., Di situ terlihat Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umaiyah bin Al-Mughirah di sampingnya. Nabi saw. bersabda: “Wahai pamanku, engkau pembesar umat, orang terbaik yang kumiliki, maka ucapkanlah ‘LAA ILAAHA ILLALLAAH’, sebagai ucapan kesaksianku di sisi Allah.” Abu Jahal dan abdullah bin Abi Umaiyah berkata: “Wahai Abu Thalib, sudahkah engkau enggan terhadap agama Abdul Muthalib?!” Namun Rasulullah saw. tetap mentalkinnya, tetapi Abu Thalib tetap juga tidak mau mengucapkannya. Akhirnya Nabi saw. bersabda: “Akan kumohonkan ampunan untukmu”, dan beliau pun mengajak umatnya untuk turut mendoakannya. Maka turunlah firman Allah swt.:
“Tidak patut bagi seorang Nabi dan orang-orang beriman untuk memanjatkan permohonan maghfirah (ampunan) bagi golongan musyrik, walaupun mereka kerabat dekat, setelah jelas bahwa mereka penghuni neraka. ”
Turun juga firman Allah swt.:
“Sesungguhnya kamu tidak akan mampu memberi petunjuk bagi orang yang engkau kasihi, tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk bagi orang yang dikehendaki. Dia Maha Mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. “ ,
Dalam hadits Ali r.a. diberitakan :
Katanya: “Aku mendengar seseorang memanjatkan doa untuk kedua orang tuanya, padahal keduanya orang musyrik. Lalu aku bertanya: “Engkau memohonkan ampunan untuk keduanya?” Dia menjawab: “Bukankah Nabi Ibrahim juga pernah mendoakan ayahnya yang musyrik?” Lalu aku beritahukan hal itu kepada Nabi saw. Maka turunlah firman Allah swt.:
“Tidak patut bagi seorang Nabi dan orang-orang yang beriman untuk memanjatkan permohonan maghfirah bagi golongan musyrik, walaupun mereka kerabat dekat, setelah jelas bahwa mereka penghuni neraka. Adapun permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri darinya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun. ” 19) Q.S. At-Taubah: 113-114.
Imam Nawawi dalam Al-Mu ’jam mengatakan: “Shalat dan memohonkan maghfirah untuk orang kafir hukumnya haram, dan itu sudah dijelaskan dalam Al- Qur’an dan As-Sunnah.”