Ultrabook Membutuhkan Revolusi
Genre Notebook Baru Ini Berpotensi Menyaingi Kepopuleran Tablet Namun, Untuk Terwujud,' Dibutuhkan Sebuah Revolusi.
Hanya dua detik setelah Jerry Shen menekan tombol Power, notebook sudah menyala. "Kami memang mendesain Asus UX21 agar cepat aktif layaknya tablet," ungkap CEO AsusTek Company tersebut. Jerry juga mengungkapkan kelebihan lain notebook tersebut, yaitu baterainya yang bisa bertahan sampai 10 hari dalam kondisi idle. Lagi-lagi, karakteristik ini diilhami kelebihan sebuah tablet.
Kehadiran tablet memang mengubah wajah teknologi saat ini. Tengok saja data Chris Whitmore, analis Deutsche Bank mengenai penjualan di paruh pertama 2011 ini. Data tersebut menunjukkan, penjualan perangkat tablet melonjak tinggi, sementara penjualan notebook cenderung menurun. Meski hal ini sedikit banyak dipengaruhi kondisi ekonomi dunia, tetapi fenomena ini tetap saja mengirimkan sinyal peringatan bagi produsen notebook. Mereka kini memiliki dua jalan keluar dari keadaan tidak menguntungkan tersebut: ikut bertempur di pasar tablet (yang telah mereka lakukan) serta menyegarkan kembali daya tarik notebook.
Solusi terakhir inilah yang menjadi latar belakang munculnya perangkat yang disebut ultrabook.
Ultrabook
Konsep ultrabook sendiri digulirkan oleh Intel mulai awai tahun ini. Menurut Intel, ultrabook adalah kelas bani notebook yang memiliki semua kelebihan tablet dan dibungkus dalam desain supertipis serta superringan.
Karakteristik tablet hadir dalam responsivitas tinggi, seperti proses “bangun" dari kondisi sleep dengan cepat seperti yang ditunjukkan Jerry Shen di atas. Agar semakin memikat, Intel juga mematok sebuah ultrabook harus memiliki desain supertipis dengan tebal tidak lebih dari 20 mm. Yang lebih menggiurkan, ultabook harus memiliki harga tidak lebih dari 1.000 dollar AS.
Intel terlihat cukup optimis kalau konsep ultrabook ini akan meraih kesuksesan. Mereka memperkirakan di akhir tahun ini, ultrabook akan menempati 40 persen dari total notebook yang beredar di pasaran. Agar proses akselerasi berjalan lancar, Intel bahkan berani menggelontorkan Ultrabook Fund sebesar 300 juta dollar AS untuk pengembangan hardware maupun software seputar ultrabook.
Perlahan, produsen notebook saat ini mulai merilis ultrabook. Pada pergelaran IFA 2011 di Berlin, Acer mengumumkan kehadiran Aspire S3 yang diklaim bisa bertahan dalam kondisi idle selama 50 hari. Lenovo juga merilis IdeaPad U300s yang tampil cantik dengan tebal hanya 1,5 cm. Vendor lain yang juga siap merilis ultrabook adalah Toshiba lewat seri Portege Z830.
Meski terlihat bergairah, bukan berarti masa depan ultrabook otomatis cerah.
Kendala mengganggu
Seperti diberitakan Digitimes, produsen notebook saat ini cuma berani merilis sekitar 50 ribu ultrabook ke pasaran— sekadar untuk mengetes pasar. Sikap pasif ini dilatarbelakangi kekhawatiran atas kondisi perekonomian dunia yang masih lemah, yang akan menyulitkan penetrasi ultrabook di pasaran. Apalagi, konsep notebook thin-and-light ini tidaklah baru. Intel pernah menggelontorkan konsep yang mirip tahun 2009, dan hasilnya tidak menggembirakan.
Para produsen notebook juga menemui kendala dalam soal teknis. Untuk menciptakan notebook tipis, dibutuhkan modul komponen yang serba terintegrasi. Contohnya bodi notebook harus unibody (satu kesatuan), komponen WiFi terintegrasi ke motherboard, serta desain baterai yang irit tempat. Masalahnya, hal tersebut sulit diwujudkan di sistem manufaktur yang kini mereka miliki. Karena memiliki variasi produk yang beragam, mayoritas pabrik terdiri dari berbagai unit assembly yang khusus menangani komponen tertentu. Ada unit assembly khusus untuk casing, motherboard, layar, dan komponen lain.
Komponen yang distok pun terdiri dari berbagai rupa, karena mengikuti segmentasi notebook. Untuk modul Wi-Fi saja, sebuah pabrikan bisa menggunakan modul buatan Broadcom untuk notebook murah, atau Intel untuk notebook premium.
Jika harus melakukan integrasi, dibutuhkan perombakan di sisi manufaktur dan inventori yang tentu membutuhkan biaya besar. Alhasil, produsen notebook pesimis bisa memenuhi patokan harga di bawah 1.000 dollar AS yang digariskan Intel.
Untuk mengatasi masalah ini, para produsen notebook mungkin bisa belajar dari Apple. Karena variasi produknya sedikit, Apple bisa dengan leluasa melakukan integrasi. Dari sebuah modul aluminium, mereka bisa menggunakannya untuk seluruh lini Macbook. Itulah yang menjelaskan mengapa Macbook Air, notebook superringan Apple itu, versi paling murahnya bisa dibanderol di harga 999 dollar AS.
Pertanyaan besarnya, apakah produsen notebook bersedia menyederhanakan variasi notebook-nya? Ketika nilai-nilai tradisional masih berkutat pada "banyak pilihan untuk banyak konsumen", perombakan itu memang membutuhkan perubahan cara berpikir yang drastis. | Kompas 8 September 2011